Jumat, 15 Maret 2013

ZHAHIR itu arti dalam bahasa sederhananya adalah LAHIR ATAU SEGALA WUJUD YANG NAMPAK NYATA DAN BISA DILIHAT DENGAN MATA KEPALA...... BATHIN itu arti dalam bahasa sederhananya adalah SESUATU YANG TERSEMBUNYI atau SEGALA WUJUD YANG TERSEMBUNYI ( GHAIB ) yang tidak dapat di LIHAT DENGAN MATA KEPALA ...... lalu ketika Allah swt berfirman dalam surat Al Hadid 3 : " DIAlah ( ALLAH ) Yang AWAL dan Yang AKHIR Yang ZHAHIR dan Yang BATHIN , dan Dia ( ALLAH ) Maha Mengetahui segala sesuatu " MAKA HANYA ORANG BUTA HATI DAN BUTA MATA KEPALA YANG TIDAK BISA MELIHAT ALLAH SWT YANG ZHAHIR......... ===================================== Pemahaman ini hanya bisa di pahami melalui pemahaman tentang NUR MUHAMMAD.............( Silahkan baca di Kitab Teberubut )

SEKILAS MANAQIB SYEKH ARSYAD AL-BANJARI

SEKILAS MANAQIB SYEKH ARSYAD AL-BANJARI Nama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari hingga kini masih melekat di hati masyarakat Martapura, Kalimantan Selatan, meski putra Banjar kelahiran Desa Lok Gabang, 19 Maret 1710 M, itu telah meninggal sejak 1812 M silam. Ia meninggalkan banyak jejak dalam bentuk karya tulis di bidang keagamaan. Karya-karyanya bak sumur yang tak pernah kering untuk digali hingga generasi kini. Tak mengherankan bila seorang pengkaji naskah ulama Melayu berkebangsaan Malaysia menjulukinya sebagai Matahari Islam Nusantara. Matahari itu terus memberikan pencahayaan bagi kehidupan umat Islam. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah pelopor pengajaran Hukum Islam di Kalimantan Selatan. Ia sempat menuntut ilmu-ilmu agama Islam di Mekkah. Sekembalinya ke kampung halaman, hal pertama yang dikerjakannya adalah membuka tempat pengajian (semacam pesantren) bernama Dalam Pagar. Kisah tempat pengajian ini diuraikan dalam buku seri pertama Intelektual Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, terbitan Diva Pustaka, Jakarta. Mulanya lokasi ini berupa sebidang tanah kosong yang masih berupa hutan belukar pemberian Sultan Tahmidullah, penguasa Kesultanan Banjar saat itu. Syekh Arsyad al-Banjari menyulap tanah tersebut menjadi sebuah perkampungan yang di dalamnya terdapat rumah, tempat pengajian, perpustakaan dan asrama para santri. Sejak itu, kampung yang baru dibuka tersebut didatangi oleh para santri dari berbagai pelosok daerah. Kampung baru ini kemudian dikenal dengan nama kampung Dalam Pagar. Di situlah diselenggarakan sebuah model pendidikan yang mengintegrasikan sarana dan prasarana belajar dalam satu tempat yang mirip dengan model pesantren. Gagasan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari ini merupakan model baru yang belum ada sebelumnya dalam sejarah Islam di Kalimatan masa itu. Pesantren yang dibangun di luar kota Martapura ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi proses belajar mengajar para santri. Selain berfungsi sebagai pusat keagamaan, di tempat ini juga dijadikan pusat pertanian. Syekh Muhammad Arsyad bersama beberapa guru dan muridnya mengolah tanah di lingkungan itu menjadi sawah yang produktif dan kebun sayur, serta membangun sistem irigasi untuk mengairi lahan pertanian. Tidak sebatas membangun sistem pendidikan model pesantren, Syekh Muhammad Arsyad juga aktif berdakwah kepada masyarakat umum, dari perkotaan hingga daerah terpencil. Kegiatan itu pada akhirnya membentuk perilaku religi masyarakat. Kondisi ini menumbuhkan kesadaran untuk menambah pengetahuan agama dalam masyarakat. Dalam menyampaikan ilmunya, Syekh Muhammad Arsyad sedikitnya punya tiga metode. Ketiga metode itu satu sama lain saling menunjang. Selain dengan cara bil hal, yakni keteladanan yang direfleksikan dalam tingkah laku, gerak gerik dan tutur kata sehari-hari yang disaksikan langsung oleh murid-muridnya, Syekh Muhammad Arsyad juga memberikan pengajaran dengan cara bil lisan dan bil kitabah. Metode bil lisan dengan mengadakan pengajaran dan pengajian yang bisa disaksikan diikuti siapa saja, baik keluarga, kerabat, sahabat maupun handai taulan, sedangkan metode bil kitabah menggunakan bakatnya di bidang tulis menulis. Dari bakat tulis menulisnya, lahir kitab-kitab yang menjadi pegangan umat. Kitab-kitab itulah yang ia tinggal setelah Syekh Muhammad Arsyad tutup usia pada 1812 M, di usia 105 tahun. Karya-karyanya antara lain, Sabil al-Muhtadin, Tuhfat ar-Raghibiin, al-Qaul al-Mukhtashar, disamping kitab ushuluddin, tasawuf, nikah, faraidh dan kitab Hasyiyah Fath al-Jawad. Karyanya paling monumental adalah kitab Sabil al-Muhtadin yang kemasyhurannya tidak sebatas di daerah Kalimantan dan Nusantara, tapi juga sampai ke Malaysia, Brunei dan Pattani (Thailand Selatan). Anak Cerdas dari Lok Gabang Sekali waktu, Sultan Kerajaan Banjar, Sultan Tahmidullah, berkunjung ke kampung-kampung yang ada di wilayahnya. Tiba di Kampung Lok Gabang, ia terkesima melihat lukisan yang indah. Setelah bertanya, dia mengetahui pelukisnya bernama Muhammad Arsyad, seorang anak berusia tujuh tahun. Tertarik dengan kecerdasan dan bakat anak kecil itu, Sultan berniat mengasuhnya di istana. Mulanya, Abdullah dan Siti Aminah, kedua orangtua Arsyad, enggan melepas anak sulungnya itu. Tapi atas pertimbangan masa depan si buah hati, keduanya pun menganggukkan kepala. Di istana, Arsyad kecil bisa membawa diri, selalu menunjukkan keluhuran budi pekertinya. Sifat-sifat terpuji itu membuat ia disayangi warga istana. Bahkan, Sultan memperlakukannya seperti anak kandung. Beranjak dewasa, Arsyad dikawinkan dengan Bajut, seorang perempuan yang salehah. Ketika Bajut tengah mengandung anak pertama, terlintas di benak Arsyad untuk menuntut ilmu di Tanah Suci Mekkah. Sang istri tidak keberatan demi niat suci suami, meski dengan perasaan berat. Setelah mendapat restu Sultan, Arsyad berangkat untuk mewujudkan cita-citanya. Begitulah sepenggal kisah perjalanan hidup Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, ulama besar kelahiran Lok Gabang, Martapura, 19 Maret 1710 M. Memperdalam Ilmu Agama Di Tanah Suci, Arsyad memperdalam ilmu agama. Guru-gurunya, antara lain Syekh Athaillah bin Ahmad al-Mishry, al-Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, dan al-‘Arif Billah Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman al-Hasani al-Madani. Namanya terkenal di Mekkah karena keluasan ilmu yang dimiliki, terutama ilmu qiraat. Ia bahkan mengarang kitab qiraat 14 yang bersumber dari Imam asy-Syatibi. Uniknya, setiap juz kitab tersebut dilengkapi dengan kaligarafi khas Banjar. Menurut riwayat, selama belajar di Mekkah dan Madinah, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari belajar bersama tiga ulama Indonesia lainnya: Syekh Abdus Shomad al-Palembani (Palembang), Syekh Abdul Wahab Bugis, dan Syekh Abdurrahman Mesri (Betawi). Mereka berempat dikenal dengan Empat Serangkai dari Tanah Jawi yang sama-sama menuntut ilmu di al-Haramain asy-Syarifain. Belakangan, Syekh Abdul Wahab Bugis kemudian menjadi menantunya karena kawin dengan anak pertama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Setelah lebih dari 30 tahun menuntut ilmu, timbul hasratnya untuk kembali ke kampung halaman. Sebelum sampai di tanah kelahirannya, Syekh Arsyad singgah di Jakarta. Ia menginap di rumah salah seorang temannya waktu belajar di Mekkah. Bahkan, menurut kisahnya, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari sempat memberikan petunjuk arah kiblat Masjid Jembatan Lima di Jakarta sebelum kembali ke Kalimantan. Ramadhan 1186 H bertepatan dengan 1772 M, Syekh Arsyad tiba di kampung halamannya di Martapura, pusat Kerajaan Banjar masa itu. Raja Banjar, Sultan Tahmidullah, menyambut kedatangannya dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyat mengelu-elukannya sebagai seorang ulama Matahari Agama yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kerajaan Banjar. Syekh Arsyad aktif melakukan penyebaran agama Islam di Kalimantan. Tak hanya dalam bidang pendidikan dengan mendirikan pesantren lengkap sarana dan prasarananya, termasuk sistem pertanian untuk menopang kehidupan para santrinya, tapi juga berdakwah dengan mengadakan pengajian, baik di kalangan istana maupun masyarakat kelas bawah. Lebih dari 40 tahun Syekh Arsyad melakukan penyebaran Islam di daerah kelahirannya, sebelum maut menjemputnya. Beliau meninggal pada tahun 1812 M dalam usia 105 tahun. Sebelum wafat, dia sempat berwasiat agar jasadnya dikebumikan di Kalampayan bila sungai dapat dilayari atau di Karang Tengah, tempat istrinya, Bujat, dimakamkan bila sungai tidak bisa dilayari. Namun karena saat meninggal air sedang surut, maka ia dikebumikan Kalampayan, Astambul, Banjar, Kalimantan Selatan. Di daerah yang terletak sekitar 56 km dari kota Banjarmasin itulah jasad Datuk Kalampayan (panggilan lain anak cerdas kelahiran Lok Gabang) ini dikebumikan. Kitab Sabil Al-Muhtadin Alasan utama penulisan kitab ini oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, karena adanya kesulitan umat Islam Banjar dalam memahami kitab-kitab fikih yang ditulis dalam bahasa Arab. Kitab-kitab yang membahas masalah fikih (ibadah shalat, zakat, puasa, dan haji) di Indonesia cukup banyak. Jumlahnya bisa mencapai ribuan, baik yang ditulis ulama asal Timur Tengah, ulama Nusantara maupun para ilmuwan kontemporer yang memiliki spesifikasi tentang keilmuan dalam bidang fikih atau hukum Islam. Dari berbagai kitab fikih yang ada, salah satunya adalah kitab Sabil al-Muhtadin li at-Tafaqquh fi Amr ad-Din (Jalan bagi orang-orang yang mendapat petunjuk agar menjadi faqih alim dalam urusan agama). Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab-Melayu dan merupakan salah satu karya utama dalam bidang fikih bagi masyarakat Melayu. Kitab ini ditulis setelah Syekh Muhammad Arsyad mempelajari berbagai kitab-kitab fikih yang ditulis para ulama terdahulu, seperti kitab Nihayah al-Muhtaj karya Imam ar-Ramly, kitab Syarh Minhaj oleh Imam Zakaria al-Anshary, kitab Mughni oleh Syekh Khatib asy-Syarbini, kitab Tuhfat al-Muhtaj karya Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, kitab Mir’atu ath-Thullab oleh Syekh Abdurrauf as-Sinkili dan kitab Shirath al-Mustaqim karya Syekh Nurruddin ar-Raniri. Selain itu, ada alasan utama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari saat menulis kitab ini. Sebuah sumber menyebutkan, pada awalnya, keterbatasan (kesulitan) umat Islam di Banjar (Melayu) dalam mempelajari kitab-kitab fikih yang berbahasa Arab. Maka itu, masyarakat Islam di Banjar berusaha mempelajari fikih melalui kitab-kitab berbahasa Melayu. Salah satunya adalah kitab Shirath al-Mustaqim yang ditulis Syekh Nurruddin ar-Raniri. Kitab Shirath al-Mustaqim ini juga ditulis dalam bahasa Arab-Melayu yang lebih bernuansa bahasa Aceh. Namun, hal itu juga menimbulkan kesulitan bagi masyarakat Islam Banjar untuk mempelajarinya. Oleh karena itu, atas permintaan Sultan Banjar (Tahmidullah), Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari kemudian menuliskan sebuah kitab fikih dalam bahasa Arab-Melayu yang lebih mudah dipahami masyarakat Islam Banjar. Dalam mukadimah kitab Sabil al-Muhtadin, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari menyatakan bahwa karya ini ditulis pada 1193/1779 M atas permintaan Sultan Tahmidullah dan diselesaikan pada 1195/1781 M. Secara umum, kitab ini menguraikan masalah-masalah fikih berdasarkan madzhab Syafi’i dan telah diterbitkan oleh Dar al-Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah. Kitab Sabil al-Muhtadin ini terdiri atas dua jilid. Seperti kitab fikih pada umumnya, kitab Sabil al-Muhtadin ini juga membahas masalah-masalah fikih, antara lain ibadah shalat, zakat, puasa dan haji. Kitab ini lebih banyak menguraikan masalah ibadah, sedangkan muamalah belum sempat dibahas. Walaupun begitu, kitab ini sangat besar andilnya dalam usaha Syekh Arsyad menerapkan hukum Islam di wilayah Kerajaan Banjar sesuai anjuran Sultan Tahmidullah yang memerintah saat itu. Fikih Kontekstual Menurut Najib Kailani, koordinator Bidang Media dan Budaya, Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta, dalam artikelnya yang berjudul “Ijtihad Zakat dalam kitab Sabil al-Muhtadin” menyatakan: “Meskipun ditulis pada abad ke-18, terdapat banyak sekali pemikiran cemerlang Syekh Arsyad dalam kitab ini yang sangat kontekstual di era sekarang. Satu di antara gagasan brilian di dalam kitab Sabil al-Muhtadin adalah pandangan beliau tentang zakat.” Dicontohkan Kailani, pada pasal tentang orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahik), terdapat pandangan dan pemikiran Syekh Muhammad Arsyad yang sangat progresif dan melampaui pemikiran ilmuwan pada zaman itu. Syekh Arsyad al-Banjari menyatakan: “Fakir dan miskin yang belum mampu bekerja baik sebagai pengrajin maupun pedagang, dapat diberikan zakat sekira cukup untuk perbelanjaannya dalam masa kebiasaan orang hidup. Misalnya, umur yang biasa ialah 60 tahun. Kalau umur fakir atau miskin itu sudah mencapai 40 tahun dan tinggal umur biasa (harapan hidup) 20 tahun. Maka, diberikan zakat kepadanya, sekira cukup untuk biaya hidup dia selama 20 tahun.” Dan, yang dimaksud dengan diberi itu bukan dengan emas maupun perak yang cukup untuk masa itu, tetapi yang bisa dipergunakan untuk membeli makan dalam masa yang disebutkan di atas. Maka, hendaklah dibelikan dengan zakat tadi dengan izin Imam, seperti kebun yang sewanya memadai atau harga buahnya untuk belanjanya di masa sisa umur manusia secara umum agar ia menjadi mampu dengan perantaraan zakat. Lalu, kebun itu dimiliki dan diwariskannya kepada keluarganya karena kemaslahatannya kembali kepadanya dan kepada mustahik yang lain. Inilah tentang fakir dan miskin yang tidak mempunyai kepandaian dan tidak bisa berdagang. Menurut Kailani, pandangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari ini, tampak telah melampaui zamannya. “Sangat jelas bahwa pijakan gagasan ini adalah konsep kemaslahatan umum (mashlahat al-‘ammah), dimana zakat tidak sekedar dimaknai sebagai pemberian karitatif, lebih jauh ia merupakan satu mekanisme keadilan sosial, yaitu supaya harta tidak hanya terputar di kalangan orang kaya semata”, ujar Kailani. “Beliau memberi contoh dengan pengelolaan kebun yang manfaatnya bisa menghidupi keluarga sang penerima zakat dan seterusnya, sampai anak cucunya dan penerima zakat lainnya. Pandangan ini tampak sejalan dengan konsep negara kesejahteraan (welfare-state) di Eropa, dimana negara menjamin kesejahteraan warga negaranya yang belum memperoleh pekerjaan layak”, tambahnya. Beberapa ijtihad zakat sudah digulirkan para pemikir Muslim kontemporer, seperti Yusuf al-Qaradhawi tentang zakat profesi atau Masdar Farid Masudi mengenai zakat yang ditransformasikan menjadi pajak dan lain sebagainya. Mengangkat kembali gagasan Syekh Arsyad dalam konteks kini, paling tidak mendorong kembali upaya-upaya reinterpretasi kontekstual makna zakat dalam kehidupan Muslim kontemporer. Berdasarkan contoh di atas, kata Kailani, tentunya sangat penting bagi umat Islam di Indonesia untuk menelisik ulang khazanah tradisi Islam Nusantara yang ditulis oleh ulama-ulama besar sejak abad ke-13 hingga ke-20, saat banyak gagasan cemerlang yang terlontar melampaui zamannya. Seperti diketahui, kitab Sabil al-Muhtadin ini tak hanya menjadi referensi ilmu fikih bagi umat Islam di Banjar (Kalimantan Selatan), tetapi juga bagi masyarakat Melayu lainnya, seperti Brunei Darussalam, Malaysia hingga Thailand. “Sudah saatnya kita membuang sikap apriori terhadap tradisi klasik, terutama karya-karya ulama Nusantara sebagai ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan problem kekinian. Dari contoh gagasan Syekh Arsyad di atas, menyadarkan kita betapa banyak kekayaan gagasan Islam Nusantara yang bisa dikembangkan kembali untuk konteks keindonesiaan sekarang”, kata Kailani. Hal ini sejalan dengan gagasan dan pemikiran yang dilakukan oleh Departemen Agama yang kini tengah mentahqiq karya-karya ulama Nusantara. Tujuannya, agar umat Islam Indonesia mengenal dengan baik ulama-ulama Nusantara dan karya-karyanya. Dari berbagai sumber. Sya’roni as-Samfuriy, Tegal 15 Maret 2013 M SEKILAS MANAQIB SYEKH ARSYAD AL-BANJARI Nama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari hingga kini masih melekat di hati masyarakat Martapura, Kalimantan Selatan, meski putra Banjar kelahiran Desa Lok Gabang, 19 Maret 1710 M, itu telah meninggal sejak 1812 M silam. Ia meninggalkan banyak jejak dalam bentuk karya tulis di bidang keagamaan. Karya-karyanya bak sumur yang tak pernah kering untuk digali hingga generasi kini. Tak mengherankan bila seorang pengkaji naskah ulama Melayu berkebangsaan Malaysia menjulukinya sebagai Matahari Islam Nusantara. Matahari itu terus memberikan pencahayaan bagi kehidupan umat Islam. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah pelopor pengajaran Hukum Islam di Kalimantan Selatan. Ia sempat menuntut ilmu-ilmu agama Islam di Mekkah. Sekembalinya ke kampung halaman, hal pertama yang dikerjakannya adalah membuka tempat pengajian (semacam pesantren) bernama Dalam Pagar. Kisah tempat pengajian ini diuraikan dalam buku seri pertama Intelektual Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, terbitan Diva Pustaka, Jakarta. Mulanya lokasi ini berupa sebidang tanah kosong yang masih berupa hutan belukar pemberian Sultan Tahmidullah, penguasa Kesultanan Banjar saat itu. Syekh Arsyad al-Banjari menyulap tanah tersebut menjadi sebuah perkampungan yang di dalamnya terdapat rumah, tempat pengajian, perpustakaan dan asrama para santri. Sejak itu, kampung yang baru dibuka tersebut didatangi oleh para santri dari berbagai pelosok daerah. Kampung baru ini kemudian dikenal dengan nama kampung Dalam Pagar. Di situlah diselenggarakan sebuah model pendidikan yang mengintegrasikan sarana dan prasarana belajar dalam satu tempat yang mirip dengan model pesantren. Gagasan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari ini merupakan model baru yang belum ada sebelumnya dalam sejarah Islam di Kalimatan masa itu. Pesantren yang dibangun di luar kota Martapura ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi proses belajar mengajar para santri. Selain berfungsi sebagai pusat keagamaan, di tempat ini juga dijadikan pusat pertanian. Syekh Muhammad Arsyad bersama beberapa guru dan muridnya mengolah tanah di lingkungan itu menjadi sawah yang produktif dan kebun sayur, serta membangun sistem irigasi untuk mengairi lahan pertanian. Tidak sebatas membangun sistem pendidikan model pesantren, Syekh Muhammad Arsyad juga aktif berdakwah kepada masyarakat umum, dari perkotaan hingga daerah terpencil. Kegiatan itu pada akhirnya membentuk perilaku religi masyarakat. Kondisi ini menumbuhkan kesadaran untuk menambah pengetahuan agama dalam masyarakat. Dalam menyampaikan ilmunya, Syekh Muhammad Arsyad sedikitnya punya tiga metode. Ketiga metode itu satu sama lain saling menunjang. Selain dengan cara bil hal, yakni keteladanan yang direfleksikan dalam tingkah laku, gerak gerik dan tutur kata sehari-hari yang disaksikan langsung oleh murid-muridnya, Syekh Muhammad Arsyad juga memberikan pengajaran dengan cara bil lisan dan bil kitabah. Metode bil lisan dengan mengadakan pengajaran dan pengajian yang bisa disaksikan diikuti siapa saja, baik keluarga, kerabat, sahabat maupun handai taulan, sedangkan metode bil kitabah menggunakan bakatnya di bidang tulis menulis. Dari bakat tulis menulisnya, lahir kitab-kitab yang menjadi pegangan umat. Kitab-kitab itulah yang ia tinggal setelah Syekh Muhammad Arsyad tutup usia pada 1812 M, di usia 105 tahun. Karya-karyanya antara lain, Sabil al-Muhtadin, Tuhfat ar-Raghibiin, al-Qaul al-Mukhtashar, disamping kitab ushuluddin, tasawuf, nikah, faraidh dan kitab Hasyiyah Fath al-Jawad. Karyanya paling monumental adalah kitab Sabil al-Muhtadin yang kemasyhurannya tidak sebatas di daerah Kalimantan dan Nusantara, tapi juga sampai ke Malaysia, Brunei dan Pattani (Thailand Selatan). Anak Cerdas dari Lok Gabang Sekali waktu, Sultan Kerajaan Banjar, Sultan Tahmidullah, berkunjung ke kampung-kampung yang ada di wilayahnya. Tiba di Kampung Lok Gabang, ia terkesima melihat lukisan yang indah. Setelah bertanya, dia mengetahui pelukisnya bernama Muhammad Arsyad, seorang anak berusia tujuh tahun. Tertarik dengan kecerdasan dan bakat anak kecil itu, Sultan berniat mengasuhnya di istana. Mulanya, Abdullah dan Siti Aminah, kedua orangtua Arsyad, enggan melepas anak sulungnya itu. Tapi atas pertimbangan masa depan si buah hati, keduanya pun menganggukkan kepala. Di istana, Arsyad kecil bisa membawa diri, selalu menunjukkan keluhuran budi pekertinya. Sifat-sifat terpuji itu membuat ia disayangi warga istana. Bahkan, Sultan memperlakukannya seperti anak kandung. Beranjak dewasa, Arsyad dikawinkan dengan Bajut, seorang perempuan yang salehah. Ketika Bajut tengah mengandung anak pertama, terlintas di benak Arsyad untuk menuntut ilmu di Tanah Suci Mekkah. Sang istri tidak keberatan demi niat suci suami, meski dengan perasaan berat. Setelah mendapat restu Sultan, Arsyad berangkat untuk mewujudkan cita-citanya. Begitulah sepenggal kisah perjalanan hidup Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, ulama besar kelahiran Lok Gabang, Martapura, 19 Maret 1710 M. Memperdalam Ilmu Agama Di Tanah Suci, Arsyad memperdalam ilmu agama. Guru-gurunya, antara lain Syekh Athaillah bin Ahmad al-Mishry, al-Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, dan al-‘Arif Billah Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman al-Hasani al-Madani. Namanya terkenal di Mekkah karena keluasan ilmu yang dimiliki, terutama ilmu qiraat. Ia bahkan mengarang kitab qiraat 14 yang bersumber dari Imam asy-Syatibi. Uniknya, setiap juz kitab tersebut dilengkapi dengan kaligarafi khas Banjar. Menurut riwayat, selama belajar di Mekkah dan Madinah, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari belajar bersama tiga ulama Indonesia lainnya: Syekh Abdus Shomad al-Palembani (Palembang), Syekh Abdul Wahab Bugis, dan Syekh Abdurrahman Mesri (Betawi). Mereka berempat dikenal dengan Empat Serangkai dari Tanah Jawi yang sama-sama menuntut ilmu di al-Haramain asy-Syarifain. Belakangan, Syekh Abdul Wahab Bugis kemudian menjadi menantunya karena kawin dengan anak pertama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Setelah lebih dari 30 tahun menuntut ilmu, timbul hasratnya untuk kembali ke kampung halaman. Sebelum sampai di tanah kelahirannya, Syekh Arsyad singgah di Jakarta. Ia menginap di rumah salah seorang temannya waktu belajar di Mekkah. Bahkan, menurut kisahnya, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari sempat memberikan petunjuk arah kiblat Masjid Jembatan Lima di Jakarta sebelum kembali ke Kalimantan. Ramadhan 1186 H bertepatan dengan 1772 M, Syekh Arsyad tiba di kampung halamannya di Martapura, pusat Kerajaan Banjar masa itu. Raja Banjar, Sultan Tahmidullah, menyambut kedatangannya dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyat mengelu-elukannya sebagai seorang ulama Matahari Agama yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kerajaan Banjar. Syekh Arsyad aktif melakukan penyebaran agama Islam di Kalimantan. Tak hanya dalam bidang pendidikan dengan mendirikan pesantren lengkap sarana dan prasarananya, termasuk sistem pertanian untuk menopang kehidupan para santrinya, tapi juga berdakwah dengan mengadakan pengajian, baik di kalangan istana maupun masyarakat kelas bawah. Lebih dari 40 tahun Syekh Arsyad melakukan penyebaran Islam di daerah kelahirannya, sebelum maut menjemputnya. Beliau meninggal pada tahun 1812 M dalam usia 105 tahun. Sebelum wafat, dia sempat berwasiat agar jasadnya dikebumikan di Kalampayan bila sungai dapat dilayari atau di Karang Tengah, tempat istrinya, Bujat, dimakamkan bila sungai tidak bisa dilayari. Namun karena saat meninggal air sedang surut, maka ia dikebumikan Kalampayan, Astambul, Banjar, Kalimantan Selatan. Di daerah yang terletak sekitar 56 km dari kota Banjarmasin itulah jasad Datuk Kalampayan (panggilan lain anak cerdas kelahiran Lok Gabang) ini dikebumikan. Kitab Sabil Al-Muhtadin Alasan utama penulisan kitab ini oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, karena adanya kesulitan umat Islam Banjar dalam memahami kitab-kitab fikih yang ditulis dalam bahasa Arab. Kitab-kitab yang membahas masalah fikih (ibadah shalat, zakat, puasa, dan haji) di Indonesia cukup banyak. Jumlahnya bisa mencapai ribuan, baik yang ditulis ulama asal Timur Tengah, ulama Nusantara maupun para ilmuwan kontemporer yang memiliki spesifikasi tentang keilmuan dalam bidang fikih atau hukum Islam. Dari berbagai kitab fikih yang ada, salah satunya adalah kitab Sabil al-Muhtadin li at-Tafaqquh fi Amr ad-Din (Jalan bagi orang-orang yang mendapat petunjuk agar menjadi faqih alim dalam urusan agama). Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab-Melayu dan merupakan salah satu karya utama dalam bidang fikih bagi masyarakat Melayu. Kitab ini ditulis setelah Syekh Muhammad Arsyad mempelajari berbagai kitab-kitab fikih yang ditulis para ulama terdahulu, seperti kitab Nihayah al-Muhtaj karya Imam ar-Ramly, kitab Syarh Minhaj oleh Imam Zakaria al-Anshary, kitab Mughni oleh Syekh Khatib asy-Syarbini, kitab Tuhfat al-Muhtaj karya Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, kitab Mir’atu ath-Thullab oleh Syekh Abdurrauf as-Sinkili dan kitab Shirath al-Mustaqim karya Syekh Nurruddin ar-Raniri. Selain itu, ada alasan utama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari saat menulis kitab ini. Sebuah sumber menyebutkan, pada awalnya, keterbatasan (kesulitan) umat Islam di Banjar (Melayu) dalam mempelajari kitab-kitab fikih yang berbahasa Arab. Maka itu, masyarakat Islam di Banjar berusaha mempelajari fikih melalui kitab-kitab berbahasa Melayu. Salah satunya adalah kitab Shirath al-Mustaqim yang ditulis Syekh Nurruddin ar-Raniri. Kitab Shirath al-Mustaqim ini juga ditulis dalam bahasa Arab-Melayu yang lebih bernuansa bahasa Aceh. Namun, hal itu juga menimbulkan kesulitan bagi masyarakat Islam Banjar untuk mempelajarinya. Oleh karena itu, atas permintaan Sultan Banjar (Tahmidullah), Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari kemudian menuliskan sebuah kitab fikih dalam bahasa Arab-Melayu yang lebih mudah dipahami masyarakat Islam Banjar. Dalam mukadimah kitab Sabil al-Muhtadin, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari menyatakan bahwa karya ini ditulis pada 1193/1779 M atas permintaan Sultan Tahmidullah dan diselesaikan pada 1195/1781 M. Secara umum, kitab ini menguraikan masalah-masalah fikih berdasarkan madzhab Syafi’i dan telah diterbitkan oleh Dar al-Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah. Kitab Sabil al-Muhtadin ini terdiri atas dua jilid. Seperti kitab fikih pada umumnya, kitab Sabil al-Muhtadin ini juga membahas masalah-masalah fikih, antara lain ibadah shalat, zakat, puasa dan haji. Kitab ini lebih banyak menguraikan masalah ibadah, sedangkan muamalah belum sempat dibahas. Walaupun begitu, kitab ini sangat besar andilnya dalam usaha Syekh Arsyad menerapkan hukum Islam di wilayah Kerajaan Banjar sesuai anjuran Sultan Tahmidullah yang memerintah saat itu. Fikih Kontekstual Menurut Najib Kailani, koordinator Bidang Media dan Budaya, Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta, dalam artikelnya yang berjudul “Ijtihad Zakat dalam kitab Sabil al-Muhtadin” menyatakan: “Meskipun ditulis pada abad ke-18, terdapat banyak sekali pemikiran cemerlang Syekh Arsyad dalam kitab ini yang sangat kontekstual di era sekarang. Satu di antara gagasan brilian di dalam kitab Sabil al-Muhtadin adalah pandangan beliau tentang zakat.” Dicontohkan Kailani, pada pasal tentang orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahik), terdapat pandangan dan pemikiran Syekh Muhammad Arsyad yang sangat progresif dan melampaui pemikiran ilmuwan pada zaman itu. Syekh Arsyad al-Banjari menyatakan: “Fakir dan miskin yang belum mampu bekerja baik sebagai pengrajin maupun pedagang, dapat diberikan zakat sekira cukup untuk perbelanjaannya dalam masa kebiasaan orang hidup. Misalnya, umur yang biasa ialah 60 tahun. Kalau umur fakir atau miskin itu sudah mencapai 40 tahun dan tinggal umur biasa (harapan hidup) 20 tahun. Maka, diberikan zakat kepadanya, sekira cukup untuk biaya hidup dia selama 20 tahun.” Dan, yang dimaksud dengan diberi itu bukan dengan emas maupun perak yang cukup untuk masa itu, tetapi yang bisa dipergunakan untuk membeli makan dalam masa yang disebutkan di atas. Maka, hendaklah dibelikan dengan zakat tadi dengan izin Imam, seperti kebun yang sewanya memadai atau harga buahnya untuk belanjanya di masa sisa umur manusia secara umum agar ia menjadi mampu dengan perantaraan zakat. Lalu, kebun itu dimiliki dan diwariskannya kepada keluarganya karena kemaslahatannya kembali kepadanya dan kepada mustahik yang lain. Inilah tentang fakir dan miskin yang tidak mempunyai kepandaian dan tidak bisa berdagang. Menurut Kailani, pandangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari ini, tampak telah melampaui zamannya. “Sangat jelas bahwa pijakan gagasan ini adalah konsep kemaslahatan umum (mashlahat al-‘ammah), dimana zakat tidak sekedar dimaknai sebagai pemberian karitatif, lebih jauh ia merupakan satu mekanisme keadilan sosial, yaitu supaya harta tidak hanya terputar di kalangan orang kaya semata”, ujar Kailani. “Beliau memberi contoh dengan pengelolaan kebun yang manfaatnya bisa menghidupi keluarga sang penerima zakat dan seterusnya, sampai anak cucunya dan penerima zakat lainnya. Pandangan ini tampak sejalan dengan konsep negara kesejahteraan (welfare-state) di Eropa, dimana negara menjamin kesejahteraan warga negaranya yang belum memperoleh pekerjaan layak”, tambahnya. Beberapa ijtihad zakat sudah digulirkan para pemikir Muslim kontemporer, seperti Yusuf al-Qaradhawi tentang zakat profesi atau Masdar Farid Masudi mengenai zakat yang ditransformasikan menjadi pajak dan lain sebagainya. Mengangkat kembali gagasan Syekh Arsyad dalam konteks kini, paling tidak mendorong kembali upaya-upaya reinterpretasi kontekstual makna zakat dalam kehidupan Muslim kontemporer. Berdasarkan contoh di atas, kata Kailani, tentunya sangat penting bagi umat Islam di Indonesia untuk menelisik ulang khazanah tradisi Islam Nusantara yang ditulis oleh ulama-ulama besar sejak abad ke-13 hingga ke-20, saat banyak gagasan cemerlang yang terlontar melampaui zamannya. Seperti diketahui, kitab Sabil al-Muhtadin ini tak hanya menjadi referensi ilmu fikih bagi umat Islam di Banjar (Kalimantan Selatan), tetapi juga bagi masyarakat Melayu lainnya, seperti Brunei Darussalam, Malaysia hingga Thailand. “Sudah saatnya kita membuang sikap apriori terhadap tradisi klasik, terutama karya-karya ulama Nusantara sebagai ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan problem kekinian. Dari contoh gagasan Syekh Arsyad di atas, menyadarkan kita betapa banyak kekayaan gagasan Islam Nusantara yang bisa dikembangkan kembali untuk konteks keindonesiaan sekarang”, kata Kailani. Hal ini sejalan dengan gagasan dan pemikiran yang dilakukan oleh Departemen Agama yang kini tengah mentahqiq karya-karya ulama Nusantara. Tujuannya, agar umat Islam Indonesia mengenal dengan baik ulama-ulama Nusantara dan karya-karyanya. Dari berbagai sumber.
Darakaah Yaa Ahlal Madiinah, Yaa Tariim Wa Ahlahaa Darakaah Yaa Ahlal Madiinah, Yaa Tariim Wa Ahlahaa "Apabila Engkau sedikit berdzikir (mengingat Allah Swt. di dunia) niscaya sedikit pula kesempatanmu memandangNya dan kedekatanmu padaNya di akhirat." (Al-Habib Umar bin Hafidz BSA) Pernah melihat logo ism seperti gambar di atas? Logo ism yang sering dijumpai di berbagai majelis-majelis ta'lim/maulid. Ada yang menggunakan logo ini di spanduk, umbul-umbul, bendera, jaket, dll. atau dalam bentuk stiker. Saya di jalan juga sering melihat mobil-mobil di kaca belakangnya ditempel stiker logo ini. Banyak yang bertanya-tanya, logo apa itu? Huruf 'ha' di tengah dengan ukuran yang cukup besar, kemudian di atasnya bertuliskan "Darakaah Yaa Ahlal Madiinah", di bawahnya bertuliskan "Yaa Tariim Wa Ahlahaa", di samping kanannya bertuliskan lafdzul jalalah yang berbunyi "Yaa Fattaah" dan di samping kirinya "Yaa Rozzaaq". Di atas huruf 'ha' bertuliskan angka 1030 dan di tengah huruf 'ha' bertuliskan angka 110. Mengenai ism seperti itu dan yang semacamnya maka hal itu merupakan tabarrukan dan tawassul kepada hal yang mulia. Sedangkan ism di atas sendiri adalah tabarruk dan tawassul kepada al-Imam al-Habib Abdullah bin Alwiy al-Haddad, seorang wali yang sangat masyhur, cucu Rasulullah Saw. dari Sayyidina Husain bin al-Imam Amirul Mu'minin Ali bin Abu Thalib Kw., suami Sayyidah Fatimah az-Zahra binti Rasulullah Muhammad Saw. Beliau adalah penyusun Ratib al-Haddad dan juga Wirdul Lathif yang banyak diamalkan oleh muslimin di berbagai penjuru dunia, juga Kitab Risalatul Mu’awanah, Nashoihud Diniyah, dll. Dijelaskan oleh al-Habib Mundzir bin Fuad al-Musawa: "Darakaah Yaa Ahlal Madiinah", maksudnya adalah bertawassul pada shohibul Madinah yaitu Rasul Saw. "Yaa Tariim Wa Ahlahaa", adalah tawassul kepada para shalihin dan lebih dari 10 ribu wali yang dimakamkan di pemakaman Zanbal, Fureidh, dan Akdar, yang pada pekuburan Zanbal itu juga terdapat Ashhabul Badr utusan Sayyidina Abubakar ash-Shiddiq Ra.yang wafat di sana. "1030" melambangkan marga Al-Haddad (dzuriyyah Rasulullah Saw). "110" melambangkan marga al-Habsyi (dzuriyyah Rasulullah Saw.). Sesuai faham Ahlussunnah wal Jama'ah, ‘azimat (Ruqyat) dengan huruf arab merupakan hal yang diperbolehkan, selama itu tidak menduakan Allah Swt. Sebagaimana dijelaskan bahwa azimat dengan tulisan ayat atau doa disebutkan pada Kitab Faidhul Qadir Juz 3 halaman 192, dan Tafsir Imam Qurthubi Juz 10 halaman 316-317, dan masih banyak lagi penjelasan para Muhadditsin mengenai diperbolehkannya hal tersebut, karena itu semata-mata adalah bertabarruk (mengambil berkah) dari ayat-ayat al-Qur'an dan kalimat-kalimat mulia lainnya. Namun tentunya manfaat dan kemuliaannya bukan pada tulisan dan stiker itu, tapi tergantung pada penggunannya, dan bila Anda ingin menggunakannya maka boleh ditempel di pintu atau lainnya sebagai tabarrukan dengan nama Imam al-Haddad rahimahullah. Mengenai tawassul, Allah Swt. sudah memerintahkan kita melakukan tawassul, tawassul adalah mengambil perantara makhluk untuk doa kita pada Allah Swt. Allah Swt. mengenalkan kita pada Iman dan Islam dengan perantara makhlukNya, yaitu Nabi Muhammad Saw. sebagai perantara pertama kita kepada Allah Swt., lalu perantara kedua adalah para sahabat, lalu perantara ketiga adalah para tabi’in, demikian berpuluh-puluh perantara sampai pada guru kita, yang mengajarkan kita islam, shalat, puasa, zakat dll, barangkali perantara kita adalah ayah ibu kita, namun di atas mereka ada perantara, demikian bersambung hingga Nabi Saw., sampailah kepada Allah Swt. Allah Swt. berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah/patuhlah kepada Allah Swt. dan carilah perantara yang dapat mendekatkan kepada Allah Swt. dan berjuanglah di jalan Allah Swt., agar kamu mendapatkan keberuntungan.” (QS. al-Maidah ayat 35). Sya’roni as-Samfuriy, Indramayu 11 Muharram 1434 H Tambahan keterangan: Muhajir Madad Salim: "1030 adalah jumlah nilai yang diakumulasi dari huruf Hijaiy ABDULLOH , seperti kita tau setiap huruf mempunyai nilai tersendiri dan jika ABDULLOH diakumulasi maka totalnya 1030. Ha' nya rumus yg di pilih untuk marga Alhaddad jadi, Ha' plus 1030 adalah lambang untuk menyebut habib Abdulloh Alhaddad Shohibu Nashoih...Begitu juga Ha' diplih sebagai rumus marga Al Habasyi , dan angka 110 adalah jumlah dari nilai lafal ALI yg mana dikehendaki adalah Alhabib Ali bin Muhammad al Habasyi shobul Maulid. Jadi huruf dan angka tsb adalah lambang penyebutan untuk dua Habaib agung...Alhabib Abdulloh bin Alawiy al Haddad Shohibur Rothib dan Al habib Ali bin Muhammad Alhabasyi Shohibul Maulid." Darakaah Yaa Ahlal Madiinah, Yaa Tariim Wa Ahlahaa "Apabila Engkau sedikit berdzikir (mengingat Allah Swt. di dunia) niscaya sedikit pula kesempatanmu memandangNya dan kedekatanmu padaNya di akhirat." (Al-Habib Umar bin Hafidz BSA) Pernah melihat logo ism seperti gambar di atas? Logo ism yang sering dijumpai di berbagai majelis-majelis ta'lim/maulid. Ada yang menggunakan logo ini di spanduk, umbul-umbul, bendera, jaket, dll. atau dalam bentuk stiker. Saya di jalan juga sering melihat mobil-mobil di kaca belakangnya ditempel stiker logo ini. Banyak yang bertanya-tanya, logo apa itu? Huruf 'ha' di tengah dengan ukuran yang cukup besar, kemudian di atasnya bertuliskan "Darakaah Yaa Ahlal Madiinah", di bawahnya bertuliskan "Yaa Tariim Wa Ahlahaa", di samping kanannya bertuliskan lafdzul jalalah yang berbunyi "Yaa Fattaah" dan di samping kirinya "Yaa Rozzaaq". Di atas huruf 'ha' bertuliskan angka 1030 dan di tengah huruf 'ha' bertuliskan angka 110. Mengenai ism seperti itu dan yang semacamnya maka hal itu merupakan tabarrukan dan tawassul kepada hal yang mulia. Sedangkan ism di atas sendiri adalah tabarruk dan tawassul kepada al-Imam al-Habib Abdullah bin Alwiy al-Haddad, seorang wali yang sangat masyhur, cucu Rasulullah Saw. dari Sayyidina Husain bin al-Imam Amirul Mu'minin Ali bin Abu Thalib Kw., suami Sayyidah Fatimah az-Zahra binti Rasulullah Muhammad Saw. Beliau adalah penyusun Ratib al-Haddad dan juga Wirdul Lathif yang banyak diamalkan oleh muslimin di berbagai penjuru dunia, juga Kitab Risalatul Mu’awanah, Nashoihud Diniyah, dll. Dijelaskan oleh al-Habib Mundzir bin Fuad al-Musawa: "Darakaah Yaa Ahlal Madiinah", maksudnya adalah bertawassul pada shohibul Madinah yaitu Rasul Saw. "Yaa Tariim Wa Ahlahaa", adalah tawassul kepada para shalihin dan lebih dari 10 ribu wali yang dimakamkan di pemakaman Zanbal, Fureidh, dan Akdar, yang pada pekuburan Zanbal itu juga terdapat Ashhabul Badr utusan Sayyidina Abubakar ash-Shiddiq Ra.yang wafat di sana. "1030" melambangkan marga Al-Haddad (dzuriyyah Rasulullah Saw). "110" melambangkan marga al-Habsyi (dzuriyyah Rasulullah Saw.). Sesuai faham Ahlussunnah wal Jama'ah, ‘azimat (Ruqyat) dengan huruf arab merupakan hal yang diperbolehkan, selama itu tidak menduakan Allah Swt. Sebagaimana dijelaskan bahwa azimat dengan tulisan ayat atau doa disebutkan pada Kitab Faidhul Qadir Juz 3 halaman 192, dan Tafsir Imam Qurthubi Juz 10 halaman 316-317, dan masih banyak lagi penjelasan para Muhadditsin mengenai diperbolehkannya hal tersebut, karena itu semata-mata adalah bertabarruk (mengambil berkah) dari ayat-ayat al-Qur'an dan kalimat-kalimat mulia lainnya. Namun tentunya manfaat dan kemuliaannya bukan pada tulisan dan stiker itu, tapi tergantung pada penggunannya, dan bila Anda ingin menggunakannya maka boleh ditempel di pintu atau lainnya sebagai tabarrukan dengan nama Imam al-Haddad rahimahullah. Mengenai tawassul, Allah Swt. sudah memerintahkan kita melakukan tawassul, tawassul adalah mengambil perantara makhluk untuk doa kita pada Allah Swt. Allah Swt. mengenalkan kita pada Iman dan Islam dengan perantara makhlukNya, yaitu Nabi Muhammad Saw. sebagai perantara pertama kita kepada Allah Swt., lalu perantara kedua adalah para sahabat, lalu perantara ketiga adalah para tabi’in, demikian berpuluh-puluh perantara sampai pada guru kita, yang mengajarkan kita islam, shalat, puasa, zakat dll, barangkali perantara kita adalah ayah ibu kita, namun di atas mereka ada perantara, demikian bersambung hingga Nabi Saw., sampailah kepada Allah Swt. Allah Swt. berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah/patuhlah kepada Allah Swt. dan carilah perantara yang dapat mendekatkan kepada Allah Swt. dan berjuanglah di jalan Allah Swt., agar kamu mendapatkan keberuntungan.” (QS. al-Maidah ayat 35). Sya’roni as-Samfuriy, Indramayu 11 Muharram 1434 H Tambahan keterangan: Muhajir Madad Salim: "1030 adalah jumlah nilai yang diakumulasi dari huruf Hijaiy ABDULLOH , seperti kita tau setiap huruf mempunyai nilai tersendiri dan jika ABDULLOH diakumulasi maka totalnya 1030. Ha' nya rumus yg di pilih untuk marga Alhaddad jadi, Ha' plus 1030 adalah lambang untuk menyebut habib Abdulloh Alhaddad Shohibu Nashoih...Begitu juga Ha' diplih sebagai rumus marga Al Habasyi , dan angka 110 adalah jumlah dari nilai lafal ALI yg mana dikehendaki adalah Alhabib Ali bin Muhammad al Habasyi shobul Maulid. Jadi huruf dan angka tsb adalah lambang penyebutan untuk dua Habaib agung...Alhabib Abdulloh bin Alawiy al Haddad Shohibur Rothib dan Al habib Ali bin Muhammad Alhabasyi Shohibul Maulid." niscaya sedikit pula kesempatanmu memandangNya dan kedekatanmu padaNya di akhirat." (Al-Habib Umar bin Hafidz BSA) Pernah melihat logo ism seperti gambar di atas? Logo ism yang sering dijumpai di berbagai majelis-majelis ta'lim/maulid. Ada yang menggunakan logo ini di spanduk, umbul-umbul, bendera, jaket, dll. atau dalam bentuk stiker. Saya di jalan juga sering melihat mobil-mobil di kaca belakangnya ditempel stiker logo ini. Banyak yang bertanya-tanya, logo apa itu? Huruf 'ha' di tengah dengan ukuran yang cukup besar, kemudian di atasnya bertuliskan "Darakaah Yaa Ahlal Madiinah", di bawahnya bertuliskan "Yaa Tariim Wa Ahlahaa", di samping kanannya bertuliskan lafdzul jalalah yang berbunyi "Yaa Fattaah" dan di samping kirinya "Yaa Rozzaaq". Di atas huruf 'ha' bertuliskan angka 1030 dan di tengah huruf 'ha' bertuliskan angka 110. Mengenai ism seperti itu dan yang semacamnya maka hal itu merupakan tabarrukan dan tawassul kepada hal yang mulia. Sedangkan ism di atas sendiri adalah tabarruk dan tawassul kepada al-Imam al-Habib Abdullah bin Alwiy al-Haddad, seorang wali yang sangat masyhur, cucu Rasulullah Saw. dari Sayyidina Husain bin al-Imam Amirul Mu'minin Ali bin Abu Thalib Kw., suami Sayyidah Fatimah az-Zahra binti Rasulullah Muhammad Saw. Beliau adalah penyusun Ratib al-Haddad dan juga Wirdul Lathif yang banyak diamalkan oleh muslimin di berbagai penjuru dunia, juga Kitab Risalatul Mu’awanah, Nashoihud Diniyah, dll. Dijelaskan oleh al-Habib Mundzir bin Fuad al-Musawa: "Darakaah Yaa Ahlal Madiinah", maksudnya adalah bertawassul pada shohibul Madinah yaitu Rasul Saw. "Yaa Tariim Wa Ahlahaa", adalah tawassul kepada para shalihin dan lebih dari 10 ribu wali yang dimakamkan di pemakaman Zanbal, Fureidh, dan Akdar, yang pada pekuburan Zanbal itu juga terdapat Ashhabul Badr utusan Sayyidina Abubakar ash-Shiddiq Ra.yang wafat di sana. "1030" melambangkan marga Al-Haddad (dzuriyyah Rasulullah Saw). "110" melambangkan marga al-Habsyi (dzuriyyah Rasulullah Saw.). Sesuai faham Ahlussunnah wal Jama'ah, ‘azimat (Ruqyat) dengan huruf arab merupakan hal yang diperbolehkan, selama itu tidak menduakan Allah Swt. Sebagaimana dijelaskan bahwa azimat dengan tulisan ayat atau doa disebutkan pada Kitab Faidhul Qadir Juz 3 halaman 192, dan Tafsir Imam Qurthubi Juz 10 halaman 316-317, dan masih banyak lagi penjelasan para Muhadditsin mengenai diperbolehkannya hal tersebut, karena itu semata-mata adalah bertabarruk (mengambil berkah) dari ayat-ayat al-Qur'an dan kalimat-kalimat mulia lainnya. Namun tentunya manfaat dan kemuliaannya bukan pada tulisan dan stiker itu, tapi tergantung pada penggunannya, dan bila Anda ingin menggunakannya maka boleh ditempel di pintu atau lainnya sebagai tabarrukan dengan nama Imam al-Haddad rahimahullah. Mengenai tawassul, Allah Swt. sudah memerintahkan kita melakukan tawassul, tawassul adalah mengambil perantara makhluk untuk doa kita pada Allah Swt. Allah Swt. mengenalkan kita pada Iman dan Islam dengan perantara makhlukNya, yaitu Nabi Muhammad Saw. sebagai perantara pertama kita kepada Allah Swt., lalu perantara kedua adalah para sahabat, lalu perantara ketiga adalah para tabi’in, demikian berpuluh-puluh perantara sampai pada guru kita, yang mengajarkan kita islam, shalat, puasa, zakat dll, barangkali perantara kita adalah ayah ibu kita, namun di atas mereka ada perantara, demikian bersambung hingga Nabi Saw., sampailah kepada Allah Swt. Allah Swt. berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah/patuhlah kepada Allah Swt. dan carilah perantara yang dapat mendekatkan kepada Allah Swt. dan berjuanglah di jalan Allah Swt., agar kamu mendapatkan keberuntungan.” (QS. al-Maidah ayat 35). Sya’roni as-Samfuriy, Indramayu 11 Muharram 1434 H Tambahan keterangan: Muhajir Madad Salim: "1030 adalah jumlah nilai yang diakumulasi dari huruf Hijaiy ABDULLOH , seperti kita tau setiap huruf mempunyai nilai tersendiri dan jika ABDULLOH diakumulasi maka totalnya 1030. Ha' nya rumus yg di pilih untuk marga Alhaddad jadi, Ha' plus 1030 adalah lambang untuk menyebut habib Abdulloh Alhaddad Shohibu Nashoih...Begitu juga Ha' diplih sebagai rumus marga Al Habasyi , dan angka 110 adalah jumlah dari nilai lafal ALI yg mana dikehendaki adalah Alhabib Ali bin Muhammad al Habasyi shobul Maulid. Jadi huruf dan angka tsb adalah lambang penyebutan untuk dua Habaib agung...Alhabib Abdulloh bin Alawiy al Haddad Shohibur Rothib dan Al habib Ali bin Muhammad Alhabasyi Shohibul Maulid." Darakaah Yaa Ahlal Madiinah, Yaa Tariim Wa Ahlahaa "Apabila Engkau sedikit berdzikir (mengingat Allah Swt. di dunia) niscaya sedikit pula kesempatanmu memandangNya dan kedekatanmu padaNya di akhirat." (Al-Habib Umar bin Hafidz BSA) Pernah melihat logo ism seperti gambar di atas? Logo ism yang sering dijumpai di berbagai majelis-majelis ta'lim/maulid. Ada yang menggunakan logo ini di spanduk, umbul-umbul, bendera, jaket, dll. atau dalam bentuk stiker. Saya di jalan juga sering melihat mobil-mobil di kaca belakangnya ditempel stiker logo ini. Banyak yang bertanya-tanya, logo apa itu? Huruf 'ha' di tengah dengan ukuran yang cukup besar, kemudian di atasnya bertuliskan "Darakaah Yaa Ahlal Madiinah", di bawahnya bertuliskan "Yaa Tariim Wa Ahlahaa", di samping kanannya bertuliskan lafdzul jalalah yang berbunyi "Yaa Fattaah" dan di samping kirinya "Yaa Rozzaaq". Di atas huruf 'ha' bertuliskan angka 1030 dan di tengah huruf 'ha' bertuliskan angka 110. Mengenai ism seperti itu dan yang semacamnya maka hal itu merupakan tabarrukan dan tawassul kepada hal yang mulia. Sedangkan ism di atas sendiri adalah tabarruk dan tawassul kepada al-Imam al-Habib Abdullah bin Alwiy al-Haddad, seorang wali yang sangat masyhur, cucu Rasulullah Saw. dari Sayyidina Husain bin al-Imam Amirul Mu'minin Ali bin Abu Thalib Kw., suami Sayyidah Fatimah az-Zahra binti Rasulullah Muhammad Saw. Beliau adalah penyusun Ratib al-Haddad dan juga Wirdul Lathif yang banyak diamalkan oleh muslimin di berbagai penjuru dunia, juga Kitab Risalatul Mu’awanah, Nashoihud Diniyah, dll. Dijelaskan oleh al-Habib Mundzir bin Fuad al-Musawa: "Darakaah Yaa Ahlal Madiinah", maksudnya adalah bertawassul pada shohibul Madinah yaitu Rasul Saw. "Yaa Tariim Wa Ahlahaa", adalah tawassul kepada para shalihin dan lebih dari 10 ribu wali yang dimakamkan di pemakaman Zanbal, Fureidh, dan Akdar, yang pada pekuburan Zanbal itu juga terdapat Ashhabul Badr utusan Sayyidina Abubakar ash-Shiddiq Ra.yang wafat di sana. "1030" melambangkan marga Al-Haddad (dzuriyyah Rasulullah Saw). "110" melambangkan marga al-Habsyi (dzuriyyah Rasulullah Saw.). Sesuai faham Ahlussunnah wal Jama'ah, ‘azimat (Ruqyat) dengan huruf arab merupakan hal yang diperbolehkan, selama itu tidak menduakan Allah Swt. Sebagaimana dijelaskan bahwa azimat dengan tulisan ayat atau doa disebutkan pada Kitab Faidhul Qadir Juz 3 halaman 192, dan Tafsir Imam Qurthubi Juz 10 halaman 316-317, dan masih banyak lagi penjelasan para Muhadditsin mengenai diperbolehkannya hal tersebut, karena itu semata-mata adalah bertabarruk (mengambil berkah) dari ayat-ayat al-Qur'an dan kalimat-kalimat mulia lainnya. Namun tentunya manfaat dan kemuliaannya bukan pada tulisan dan stiker itu, tapi tergantung pada penggunannya, dan bila Anda ingin menggunakannya maka boleh ditempel di pintu atau lainnya sebagai tabarrukan dengan nama Imam al-Haddad rahimahullah. Mengenai tawassul, Allah Swt. sudah memerintahkan kita melakukan tawassul, tawassul adalah mengambil perantara makhluk untuk doa kita pada Allah Swt. Allah Swt. mengenalkan kita pada Iman dan Islam dengan perantara makhlukNya, yaitu Nabi Muhammad Saw. sebagai perantara pertama kita kepada Allah Swt., lalu perantara kedua adalah para sahabat, lalu perantara ketiga adalah para tabi’in, demikian berpuluh-puluh perantara sampai pada guru kita, yang mengajarkan kita islam, shalat, puasa, zakat dll, barangkali perantara kita adalah ayah ibu kita, namun di atas mereka ada perantara, demikian bersambung hingga Nabi Saw., sampailah kepada Allah Swt. Allah Swt. berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah/patuhlah kepada Allah Swt. dan carilah perantara yang dapat mendekatkan kepada Allah Swt. dan berjuanglah di jalan Allah Swt., agar kamu mendapatkan keberuntungan.” (QS. al-Maidah ayat 35). Sya’roni as-Samfuriy, Indramayu 11 Muharram 1434 H Tambahan keterangan: Muhajir Madad Salim: "1030 adalah jumlah nilai yang diakumulasi dari huruf Hijaiy ABDULLOH , seperti kita tau setiap huruf mempunyai nilai tersendiri dan jika ABDULLOH diakumulasi maka totalnya 1030. Ha' nya rumus yg di pilih untuk marga Alhaddad jadi, Ha' plus 1030 adalah lambang untuk menyebut habib Abdulloh Alhaddad Shohibu Nashoih...Begitu juga Ha' diplih sebagai rumus marga Al Habasyi , dan angka 110 adalah jumlah dari nilai lafal ALI yg mana dikehendaki adalah Alhabib Ali bin Muhammad al Habasyi shobul Maulid. Jadi huruf dan angka tsb adalah lambang penyebutan untuk dua Habaib agung...Alhabib Abdulloh bin Alawiy al Haddad Shohibur Rothib dan Al habib Ali bin Muhammad Alhabasyi Shohibul Maulid."

RENUNGAN PAGI............

RENUNGAN PAGI............ Mereka yang ANTI ADANYA PEMAHAMAN NUR MUHAMMAD seringkali membuat gambaran " MELIHAT TUHAN " seperti ini : " Bagaimana mungkin kita bisa menceritakan bentuk sebuah gedung yang megah, kalau kita berada di dalamnya dan tak ada peluang untuk keluar darinya...? .....Paling-paling kita hanya akan berputar-putar menceritakan interiornya belaka. Itu pun hanya sejauh kemampuan mata kita memandang.. " Pernyataan tersebut dengan jelas membantah Hadist dari ‘Ady Ibni Hatim beliau berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda : “ Seseorang diantara kamu akan bercakap-cakap dengan TUHANNYA tanpa ada penterjemah dan dinding yang mendindinginya “ ( HR.BUKHARI ) Dan juga membantah kebenaran firman Allah swt dalam surat Al Hadid 3 : " DIAlah ( ALLAH ) Yang AWAL dan Yang AKHIR Yang ZHAHIR dan Yang BATHIN , dan Dia ( ALLAH ) Maha Mengetahui segala sesuatu " JADI PERNYATAAN MEREKA YANG ANTI ADANYA PEMAHAMAN NUR MUHAMMAD TERSEBUT MEMANG BENAR DAN MEMBENARKAN BAHWA TANPA MEMAHAMI PEMAHAMAN NUR MUHAMMAD MAKA TIDAK AKAN BISA MELIHAT ALLAH DAN HANYA IBARAT BERADA DI DALAM GEDUNG MUTER - MUTER SEPERTI KOMEDI PUTER..............
Hikmah Membaca Shalawat Kepada Rasulullah : ~> Rahmat Allah Turun Senantiasa ( Tidak Putus ) Kepada Junjungan Rasulullah Shalallahu 'Alahi Wa Sallam , Tapi Kita Tetap Disuruh Bershalawat Kepadanya , Ternyata ada hikmahnya : ~> Hikmah Kita Disuruh Baca Shalawat : >>Hasilnya Utk Diri Kita Sendiri >> Membersihi Amal Kita Dan Macam2 Ibadah Yg Lain >> Bila Membaca Shalawat Termasuk Juga Orang Yg Berzikir ~> Hikmah Baca Shalawat Diterima Amal Kita Karena Doa Yg Diapit Dua Shalawat Akan Diterima ( Dikabulkan ) Allah Doanya ~> Semakin Banyak Shalawatnya Semakin Bersih Amalnya Dan Semakin Dekat Kepada Rasulullah Moga Allah Mudahkan Kita Barataan Suka Membacanya Shalawat Dan Istiqomah Membacanya ... Aamiin ( Sumber pengajian tahun 2003 ) Hikmah Membaca Shalawat Kepada Rasulullah : ~> Rahmat Allah Turun Senantiasa ( Tidak Putus ) Kepada Junjungan Rasulullah Shalallahu 'Alahi Wa Sallam , Tapi Kita Tetap Disuruh Bershalawat Kepadanya , Ternyata ada hikmahnya : ~> Hikmah Kita Disuruh Baca Shalawat : >>Hasilnya Utk Diri Kita Sendiri >> Membersihi Amal Kita Dan Macam2 Ibadah Yg Lain >> Bila Membaca Shalawat Termasuk Juga Orang Yg Berzikir ~> Hikmah Baca Shalawat Diterima Amal Kita Karena Doa Yg Diapit Dua Shalawat Akan Diterima ( Dikabulkan ) Allah Doanya ~> Semakin Banyak Shalawatnya Semakin Bersih Amalnya Dan Semakin Dekat Kepada Rasulullah Moga Allah Mudahkan Kita Barataan Suka Membacanya Shalawat Dan Istiqomah Membacanya ... Aamiin ( Sumber pengajian tahun 2003 )
‎''Matikan dirimu sebelum Kematian" Tahap Awal ,... pisahkan antara Roh dan Jasad,,tiada daya upaya Yang Ada hanya ALLAH... di dalam HATI menyaksikan Kebesaran-NYA Sifat Jalal jamal-NYA dan kesucian_NYA.. Jasad adalah amanah ALLAH ,yang akan menanggungnya adalah Rohaniah..tariklah "NAFAS" itu dengan HAKIKAT memulangkan Zat,Sifat,Af'al.Asma ALLAH ,yang berarti memulangkan segala Wujud kita yang Zahir kepada Wajud kita Yang Bathin (Roh) Wujud Roh pada HakikatNya kepada Wujud Yang Qadim Tahap kedua... melakukan Mi'raj (mati maknawi) di dalam hati hanya ALLAH hati adalah Asmanya..nafas adalah SifatNya,semua kehendak adalah Af'alNya Dan Rahasia adalah Zat-Nya.. Tahap Akhir,... tiada daya upaya hanya kesempurnaanNYA yang melakukan kekuatan kepada sifat manusia yang berkehendak (kekurangan) hadirkan nafas di tempat yang sempurna yaitu mata hati itu dariNYA...dengan ALLAH dan untuk ALLAH dari ALLAH menggerakkan Rohaniah dari Rohaniah menggerakkan Al-Hayat dari Al-Hayat menggerakkan Nafas dari nafas menggerakan Jasad

Senin, 11 Maret 2013

Orang Itu Abah, yang Pernah Muncul Dalam Mimpiku Sempat kaget, ketika siang kemarin, aku dikejutkan dari tidurku, oleh dering telpon yang mengantarkan sebuah berita duka. Kiranya sebuah kabar terbetik dari mulut Abangku. “Kau kenal Abah? Abah meninggal pada 5 Juli lalu,” katanya dengan pelan-pelan sekali. Blank…. Aku sempat kaget diam dan sontak menyerukan salam hormat kepada Tuhan yang telah menciptakan manusia, “Innalillah,” seruku. Abah, Abah. Siapa Abah ini? Ini bukan Abah kandungku. Ini Abah yang lain, yang, entah, aku sendiri mungkin sukar menjelaskannya. Abah, aku yakin, selama hidupnya di dunia, dia baru sekali bertemu denganku. Dan aku juga begitu. Lantas kenapa aku merasa kehilangan? Ceritanya dimulai ketika moment sekali dalam hidupku itu dimulai. Suatu hari, seusai mentas teater di kampusku, Abangku mengajak jalan dan bertemu dengan seseorang. Alaihai, seseorang? Pikirku? Selama diperjalanan, di dalam taksi dia menceritakan nit dan tujuan serta siapa orang yang akan kami temui itu. Dia tak lain adalah Abah. (yang aku sendiri baru sekali bertemu). Singkat cerita, Abangku telah memperkenalkan Abah kepadaku, hingga pada akhirnya, kami benar-benar sampai di depan pintu rumahnya di kawasan Daan Mogot (?). Empat orang, salah satunya bergamis putih-putih duduk diberanda depan rumah dengan arsitektur klasik itu. Dengan janggut dan senyum, keempat orang tersebut memberikan salam kepada kami yang baru saja tiba di sana. Abah, aku kira, orang yang berbaju putih-putih itu adalah orang yang dimaksud. Namun tatkala akhirnya muncul seseorang dari dalam rumah, dengan postur tubuh yang besar, janggut terurai, rambut panjang, gamis serta harum wewangian yang sudah lama tak kuhirup akhirnya menghampiri kami. Orang tua itu, meski sudah tua, rambut putih tumbuh di mana-mana, namun masih terlihat segar saja. Kuat dan terkesan kokoh, layaknya batang pohon yang masih hijau. Dengan ramah, dia memeluk Abangku, kemudian tiba giliranku. Dia Tanya siapa namaku dan langsung tertawa-tawa. (memang ada yang aneh dengan namaku Bah?) Orang itu bijak sekali, tuturnya teratur, setiap kalimat seolah sudah dipilih dan dipilin sebelumnya. Seolah dia tengah membaca sebuah teks, sebuah narasi yang ada di kepalaku. Dengan takzim kuiikuti setiap kalimat yang keluar dari mulutnya. Dia tidak sedang berdakwah, bagiku, ketika itu dia sedang mencoba mengajarkan sesuatu. Si Abah ini tiba-tiba berlaih kepadaku. Mungkin dia risih dengan tatapan mataku yang selalu memandangnya heran. Diam sebentar, kemudian dia Tanya padaku, “Tuah, Sudah lama tak pulang yah?” Pertanyaan apa pula ini? pikirku. Kujawab saja, “Baru pulang Bah, Lebaran kemaren,” kataku. Dengan senyum dikulum dia menggelengkan kepalanya, seperti masih menunggu jawaban lain yang akan kuberikan. Tenggorokanku tercekat oleh tatapan matanya yang luar biasa. Lalu kucoba pantas-pantasin wajahnya dengan sesosok foto yang pernah kulihat di buku sejarah, :KAHAR MUZAKAR. Entahlah, tak ada yang mirip. Mungkin karena dia sudah tua, atau bagaimana. Tapi yang jelas dia tak mirip Kahar, Legenda dari Sulawesi itu. Pengalaman itu selindap saja hadir, dalam lembaran hidup. Sebagai sebuah pengalaman, yang boleh jadi aku bisa bertemu dengannya suatu hari kelak dan membunuh penasaranku sambil menanyakan langsung padanya, “Abah ini Kahar Muzakkar?” Tiba-tiba, suatu hari di bulan April, terbetik kabar dari Cinere. Dimana janda Kahar Muzakar, Mami Susana Corry Van Stenus menghembuskan nafas terakhir. Dan lagi-lagi penasaran itu muncul lagi, sebab dari Situs Berita Rakyat Merdeka kubaca orang yang bernama Syamsuri Abdul Madjid alias Syekh Imam Muhammad Al Mahdi Abdullah hadir di sana dan ikut turun ke liang lahat mengantarkan jenazah Mami ke peristirahatan yang terakhir. Entahlah, siapa tahu. Sekarang si Abah sudah tiada. Aku memang tak sempat bertanya padanya mengenai sejarahnya dan identitasnya. Tapi menurutku itu tak penting. Aku bisa saja menganggap Abah siapapun. Tapi yang jelas, Abah itu orang yang penuh charisma. Abah, entah siapapun kau, aku lebih suka kenal kau sebagai Abah. Dan aku beruntung, pernah bertemu dengan orang sepertimu Bah. Aku akan “pulang ke rumah”, seperti saranmu dalam mimpiku. Semoga tanah menerimamu dengan tulus. Amin.

Rabu, 06 Maret 2013

Kalinda'da' 1

Kalinda'da' 1

Kumpulan kalinda'da' berikut ini diambil dari artikel "TEMA DAN NILAI PENDIDIKAN DALAM KALINDA’DA’ MANDAR", ditulis oleh Oleh: Drs. Suradi Yasil, dimuat di dalam Jurnal Bosara (Media Informasi Sejarah dan Budaya Sulawesi Selatan) No. 5/6 tahun III, Juli – Oktober 1996 pada hal. 44 – 51. Diterjemahkan ulang dan ditafsir oleh Mustamin al-Mandary.
**********************************

Mua’ mattoe’o pandeng
Pakaramboi dzai’
Diang manini
Mappetondo dzai’i

Beru’-beru’ kambangao
Pandeng malassuao
Napuppi’ao
I to soro’ mamboyang

Pasammmesai saramu
Dimitta’e-ta’ena
Anna’ mu bebas
Mattalattanang bura’


Terjemahan

Kalau engkau menggantung nenas
Tempatkan pada tempat yang tinggi
Siapa tahu nanti
Ada yang menggantung (nenas) lebih tinggi

Melati jangan sampai kau rusak
Pandan jangan sampai kau layu
Jangan sampai kau dipetik
Orang yang mundur dari rumah tangganya

Bulatkan kasihmu
Dari kemungkinan percabangannya
Agar engkau bebas
Menaburkan benih

Tafsir

Kalinda'da pertama memberikan pesan bahwa hendaknya dalam memberikan sesuatu, berikanlah yang terbaik. Pemberian itu bisa berupa apa saja: cinta, kasih, pengabdian, penghormatan, ketulusan, dan lain-lain. Di dalam bahasa Mandar, nenas sering menjadi perumpamaan dari gadis perawan di samping melati, tapi kelihatannya dalam konteks ini maknanya adalah cinta dan kasih sayang. Jadi, jika Anda mencintai seorang gadis, cintailah sepenuhnya, jangan sampai ada laki-laki lain yang memberikan kasih sayang yang lebih tinggi dan memalingkannya dari Anda. Tentu saja, pesan ini lebih tepat kepada seorang suami.

Kalinda'da' kedua adalah pesan penting kepada seorang gadis. Orang tua selalu berpesan, jagalah sikap dan prilaku serta kata-kata dan ucapan karena itulah yang menjadi ukuran ke-sitinaya-an (kepantasan) keperempuanan sang gadis. Jangan pula menjadi perempuan murahan. Biasanya, perempuan seperti ini jatuhnya kepada laki-laki yang tidak bertanggungjawab. Di Mandar, laki-laki yang menceraikan istrinya dianggap tidak pantas untuk ditemani lagi.

Kalinda'da' ketiga memberikan saran penting tentang kesempurnaan kasih sayang, pengabdian, penghormatan, atau apa saja kepada seseorang; bisa laki-laki kepada perempuan, anak kepada orang tua, bawahan kepada atasan, adik kepada kakak dan sebaliknya, dan lain-lain. Pesannya adalah, kesempurnaan sikap baik akan memberikan kesempurnaan manfaat kepada seseorang yang melakukan kebaikan itu.
 

Sandeq dan Kearifan Lokal Suku Mandar

 
Majene di Sulawesi Barat kembali disebut-sebut menyusul keberhasilan pengangkatan kotak hitam pesawat Adam- Air beberapa waktu lalu. Wilayah yang didiami etnis Mandar ini sempat hilang dari ingatan selama puluhan tahun. Di era 1930-1980, Majene dikenal sebagai kampungnya pelaut ulung berperahu sandeq.

Sandeq adalah perahu layar tradisional khas Mandar. Sekilas, sandeq terkesan rapuh, tetapi di balik itu ternyata tersimpan kelincahan. Panjang lambungnya 7-11 meter dengan lebar 60-80 sentimeter. Di kiri-kanannya dipasang cadik dari bambu sebagai penyeimbang.

Sandeq mengandalkan dorongan angin yang ditangkap layar berbentuk segitiga. Layar itu mampu mendorong sandeq hingga kecepatan 20 knot. Kecepatan maksimum melebihi laju perahu motor seperti katinting, kappal, dan bodi-bodi.

"Kalau diibaratkan orang, sandeq berlari dan perahu lainnya berjalan," ujar Muhammad Ridwan Alimuddin, peneliti sandeq berdarah Mandar.

Horst H Liebner, peneliti sandeq asal Jerman, menilai, tidak ada perahu tradisional yang sekuat dan secepat sandeq yang menjadi perahu tradisional tercepat di Austronesia. Meski kelihatan rapuh, sandeq tangguh mengarungi laut lepas Selat Makassar antara Sulawesi dan Kalimantan.
Sandeq juga sanggup bertahan menghadapi angin dan gelombang saat mengejar kawanan ikan tuna. Para ’insinyur’ sandeq tampaknya sangat cermat merancang perahu yang tangguh untuk memburu kawanan ikan. Sebab, Teluk Mandar memang langsung berhadapan dengan laut dalam tanpa penghalang, dengan angin kencang dan gelombang besar.

Sandeq harus bisa melaju cepat mengejar kawanan tuna yang sedang bermigrasi. Saat musim ikan terbang bertelur, nelayan menggunakan sandeq untuk memasang perangkap telur dari rangkaian daun kelapa dan rumput laut.

Ikan dan telur ikan menjadi andalan utama ekonomi keluarga nelayan Mandar. Kepada pedagang perantara, para nelayan menjual telur ikan terbang bisa mencapai Rp 300.000 per kilogram, meski tahun ini hanya Rp 180.000 per kilogram.

Selain memburu rombongan ikan tuna dan cakalang, para nelayan Mandar juga biasa berburu rempah-rempah hingga Ternate dan Tidore untuk dibawa ke bandar Makassar.
Dilombakan

Saat libur melaut karena kendala cuaca, nelayan Mandar biasa mengisi waktu dengan menggelar lomba sandeq. Dulu, lomba hanya mengadu kemampuan manuver. Setiap sandeq harus memutari area yang dibatasi tiga titik.

Lomba ini membutuhkan kejelian membaca angin dan menentukan teknik manuver. Di sini nelayan diuji kepiawaian sebagai passandeq.

Lomba sandeq masih bisa disaksikan hingga saat ini dalam Sandeq Race, seperti digelar pertengahan Agustus lalu dengan mengambil rute Mamuju di Sulawesi Barat ke Makassar di Sulawesi Selatan dengan jarak tempuh 300 mil laut.

Ribuan orang tumpah ke pantai untuk menyaksikan sandeq dari desanya bertanding dalam pesta tahunan nelayan Mandar yang kini sudah menjadi agenda tahunan itu.

Bila dirunut ke belakang, sebenarnya adu cepat sandeq sudah ada sejak 1960-an. Dulu, lomba itu disebut lomba pasar, karena sandeq disewa oleh para pedagang untuk mengangkut barang dagangan ke setiap pasar di desa pesisir antara Majene dan Mamuju. Waktu itu, jalur laut sangat vital karena lebih cepat daripada transportasi darat yang masih terbatas.

Kecepatan sangat dituntut oleh pemilik barang agar tiba di pasar yang ada di setiap desa lebih awal, sehingga sandeq langsung bisa parkir di dekat pasar untuk meraup sebanyak-banyaknya pembeli. Passandeq (awak sandeq) yang lambat tiba pasti akan dimarahi pemilik barang karena pasar sudah sepi, sehingga garang tak laku.

Akan tetapi, kecepatan dan ketangguhan sandeq juga bisa menjadi sasaran gerombolan perompak. Karena itu, para pemilik perahu yang tahu perahunya cepat mengakali dengan mengikat batu supaya tidak direbut para perompak untuk dijadikan sarana kejahatannya.

Sepak terjang perompak ber-sandeq terbukti saat Horst berlayar menggunakan sandeq ke Bira, Sulawesi Selatan, pada pertengahan 1990-an.

"Orang Bira masih ingat kehebatan sandeq karena semua kapal layar bisa dikejar oleh sandeq. Kalau saat ini masih ada gerombolan, orang Bira mau menukar pinisinya dengan sandeq," ujar Horst.

Pelestarian budaya

Lomba sandeq profesional dirancang oleh Horst pada tahun 1995. Sandeq Race merupakan usaha untuk melestarikan dan meneruskan budaya bahari Mandar yang terancam punah. Sandeq mengajarkan nelayan muda untuk membaca arus, membaca angin, serta ritual yang ada di dalamnya.

Lomba ini gratis bagi nelayan Mandar, dan disediakan hadiah mencapai Rp 20 juta untuk juara umum. Semua peserta yang mencapai titik akhir juga memperoleh hadiah uang. Selama 10 hari mengikuti lomba, passandeq ditanggung biaya makannya, dan diberi uang untuk keluarga yang ditinggal.

Firdausy, passandeq dari Desa Pambusuang, Polewali Mandar, mengatakan, lomba sandeq mengandung unsur kebanggaan yang sangat tinggi. Pemenang lomba akan terangkat status sosialnya, dan menjadi buah bibir di masyarakat.

Kebanggaan sebagai passandeq itulah yang mendorong Firdausy merogoh Rp 30 juta untuk membuat sandeq yang khusus digunakan untuk lomba. Di luar lomba, sandeqnya hanya disimpan di kolong rumah panggungnya. "Setiap bulan kita cat ulang supaya awet. Kalau sudah dekat perlombaan, sandeq dikeluarkan untuk latihan hingga hari perlombaan," ujar Firdausy.

Sandeq Race yang telah 10 kali digelar merupakan usaha untuk melestarikan budaya bahari Mandar. Sebab, sejak awal 1990-an prahu bercadik ini makin hilang dari Teluk Mandar, dan digantikan perahu motor.

Dengan perlombaan itu, jumlah sandeq terus bertambah. Tahun ini, 53 sandeq ikut Sandeq Race. Beberapa di antaranya adalah sandeq baru.



IMAM LAPEO PEMBAHARU ISLAM DI MANDAR


K.H. M. TAHIR yang kondang dengan panggilan Imam Lapeo, lahir di Tinambung pada thn 1838. Beliau adalah ulama besar dan penyebar Islam yang tak kenal menyerah dalam menanamkan prinsip-prinsip Tauhid, Akhlak dan keilmuan Islam di Tanah Mandar yang sekarang menjadi Provinsi Sulbar.

Berbagai cara dan upaya telah dilakukannya untuk menyampaikan dan mewujudkan
risalah dan nilai-nilai Islam yang benar kepada ummat Islam di Mandar, yang sudah ter-Isalamkan sejak abad ke 15 di jaman Ammara’diang Kakanna I Pattang Daetta Tommuane oleh usaha Ulama Abdul Rachman Kamaluddin bergelar Tosalama di Binuang.

Walaupun kiprah dan perjuangan Imam Lapeo sering di reduksi dan dibumbui drngan hal-hal yang berbau Supranatural seperti cerita tentang kemampuannya berada di dua tempat sekaligus ; menaklukkan para tukang Doti, bahkan intelektual sekelas Emha Ainun Najib meyakininya, namun kebesarannya sebagai seorang pembaharu ( reformis ) Islam dan sosial tidak diragukan lagi.

Sejatinya memang dalam diri beliau terdapat pasangan karakter berupa kategori-kategori
yang tidak dapat dipisahkan secara dikotomis. Bisa dibilang beliau adalah seorang NU sekaligus Muhammadiyah, modern juga tradisional, rasioanl serta irasional, intelek sekaligus spiritual.

Imam Lapeo adalah sebuah teks yang bisa dibaca dengan pendekatan Positivistis ataupun Naturalis. Cerita tentang beliau adalah sesuatu yang obyektiv sekaligus subyektiv, yang dari sudut pandang post modernism adalah sesuatu yang sah-sah saja.

Walaupun Imam Lapeo tak pernah menyebut dirinya sebagai pembaharu ( modernis ), tetapi kwalitas pribadi dan perjuangan beliau menumjukkan ciri seorang Pembaharu. Hal ini bisa dilacak secara historis dan sosial budaya. Dengan tidak mengecilkan arti penting dakwah tradisionil yang dicirikan dengan pendekatan Tasawwuf yang notabene juga dilakukan oleh Imam Lapeo. Disini penulis mencoba mengangkat fakta yang terabaikan selama ini, bahwa Islam di Mandar tidak pernah lepas dari dinamika dan dialektika pemahaman dan pemikiran Islam di Nusantara.

Proses terbentuknya faham keIslaman Imam Lapeo tak dapat dipisahkan dari sejarah
pengembaraan dan perjalanannya ke Sumatera terutama Minangkabau, Timur-tengah dan Makkah untuk berdagang dan menuntut Ilmu.

Kita tahu bahwa sejak abad ke 13, di Mekkah dan seluruh kawasan Timur-tengah telah bertiup angin perubahan dan pembaharuan Islam yang dibawa oleh Ibnu Taimyah yang kemudian dimantapkan oleh Muhammad Bin Abd Al- Wahhab di Jazirah Arabia di abad ke 18. Inti ajaran kedua ulama ini, yaitu Tauhid yang benar, membuka pintu Ijtihad dan menentang Bid’ah. Selanjutnya semangat pembaharuan ini diteruskan oleh Trio Jamaluddin Al Afgani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha pada abad – abad berikutnya. Di Indonesia faham ini disebarkan mula-mula oleh kaum Paderi dan tertanam kuat di Sumatra Barat. Di Pulau Jawa oleh gerakan Muhammadiyah.

Sebagai seorang yang peka dan haus akan Ilmu Keagamaan, tentu saja Imam Lapeo dalam pengembaraannya telah bersentuhan dan dipengaruhi oleh paham-paham dan pemikiran kaum pembaharu. Namaun yang memantapkan niat Imam Lapeo untuk melakukan pembaruan sosial dan keagamaan adalah pertemuannya dengan seorang Ulama besar dari Yaman, yaitu Sayyid Alwi Jalaluddin Bin Sahal. Dari ulama yang kemudian menjadi gurunya itu, Imam Lapeo memperoleh motivasi untuk memberantas kejahilan, penyimpangan pelaksanaan dan pemahaman agama serta menggalakkan pelaksanaan agama yang benar dalam masyarakat, khususnya di Mandar. ( M. Yusuf Naim, M. Natsir. 2005 ).

Dengan bekal ilmu dan wawasan keIslaman yang didapatkannya selama di rantau, Imam Lapeo kemudian melaksanakan dakwah Islam di Mandar dengan mempraktekkan metode2 perjuangan kaum pembaharu : Struktural maupun Kultural.

Pada level Struktural yang dilakukan Imam Lapeo adalah dengan keterlibatannya dalam mempertankan Kemerdekaan bangsa, dan bergabung dengan Organisasi KRIS Muda ( Kebaktian Rahasia Islam Muda ) bersama Andi Depu, RA daud, AR. Tamma dll. Beliau turut berjuang menentang kesewenang-wenangan Nica Belanda yang ingin mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia dan mengancam kedaulatan bangsa dan agama.

Perjuangan Imam Lapeo dalam menentang penjajahan dan kesewenang-wenangan, adalah tipikal kaum pembaharu. Ibnu Taimiyah dengan menggelorakan semangat Amal Ma’ruf Nahi Mungkar, menentang penjajah Moghul. Jamaluddin Al Afgani mengmbil inspirasi dari ayat ALLAH :" Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum hinggah mereka mengubah diri mereka sendiri ", berusaha mempersatukan ummat Islam dalam satu ke Khalifahan untuk melawan dominasi dan eksploitasi Barat.

Pada level Kultural Keagamaan, Imam Lapeo telah mendrikan lembaga pendidikan Pesantren yang bernama Pesantren Addiniyah Al Islamiyah Ahlussunnah Wal Jamaah di thn 1920 an di desa Lapeo, Campalagian. Pesantren yang didirikan Imam Lapeom pada saat itu merupakan bentuk pesantren Modernm. Dalam arti sistim penddidikannya bersifat Madrasah yang mengajarkan, selain pendidikan Agama, juga pendidikan Umum.

Pesantren yang didirikan Imam Lapeo ini, juga menggunakan Sistim Klasikal, yaitu cara pendidikan yang berjenjang dan senantiasa mengacu pada kurikulum yang telah ditetapkan. Bentuk ini disebut sebagai Pendidikan Pesantren Modern. ( M. Yusuf Naim, M. Natsir. 2005 ).



Dari kedua gerakan yang telah dilakukan Imam Lapeo itu ; Struktural dan Kultural, dapat disimpulkan, bahwa beliau adalah salah satu eksponen pembaharu Sosial Keagamaan di Tanah Air. Namun dalam upaya pembaharuannya itu, beliau tetap menghargai Budaya dan Adat Istiadat Mandar. Hal itu ditunjukkan kesediaan beliau untuk menghadiri dan berceramah pada upacara-upacara atau pesta-pesta Adat, seperti Perkawinan, Kematian, pesta Panen dll. Dan juga beliau adalah tetaplah seorang Sufi yang mempraktekkan selain aspek Esoteris Islam, Juga aspek Eksoteris Islam yang mengacu pada paham dan praktek agama secara umum. Dengan kata lain Imam Lapeo di masanya telah melaksanakan apa yang kini populer
PANDANGAN HIDUP ORANG MANDAR

Setiap manusia, bangsa, atau komunitas pasti memiliki sebuah cara pandang terhadap hidup dan kehidupan yang terkait dengan upayanya untuk merealisasikan cita-cita, tujuan, dan harapannya kedepan. Tanpa pandangan hidup yang diyakini benar dan menjadi batu penjuru, maka manusia, bangsa dan komunitas itu akan seperti tengkorak hidup yang berjalan kesana-kemari tanpa arah, atau hidupnya hampa, tak bermakna. Bangsa Indonesia mempunyai pandangan hidup Pancasila yang merupakan sumber pokok dalam merumuskan Undang-undang Dasar 45 yang berisi cita-cita, tujun bangsa dan negara, serta cara mengelola pemerintahan yang baik dan benar.


Suku Mandar sebagai sebuah etnik dan komunitas tentu juga mempunyai pandangan hidup yang telah mentradisi dan diamalkan secara turun temurun sejak lama. Dan semua itu tercatat secara lisan maupun tulisan dalm lontara yang disebut Pappasanna, Rapanna, atau Pau-paunna Todiolo. Sebelum membahas lebih lanjut tentang pandangan hidup orang Mandar, perlu diketahui bahwa pandangan hidup itu terdiri atas tiga macam, yakni pandangan hidup yang berasal dari agama. Pandangan hidup yang berupa ideologi yang disesuaikan dengan kebudayaan dan norma yang terdapat pada bangsa, dan etnik tersebut. Pandangan hidup hasil renungan orang secara pribadi yang dapat juga disebut filsafat hidup.


Namun apapun konteksnya, secara filosofis, sosial, antropologi dan agama, setiap pandangan hidup akan selalu terhubung dan dipengruhi oleh aspek-aspek spritual dan material yang khas dari masyarakatnya. Jika sebuah bangsa lebih mengutamakan aspek spritual maka setiap visi yang lahir darinya akan selalu dipulangkan pada pertanyaan tentang siapa, dimana, dan akan kemana manusia pergi?. Dus, prinsip hidupnya adalah hidup untuk mati lalu bertemu dengan sang Maha Pencipta. Dunia dan seisinya hanyalah sarana dan modal untuk menggapai kebahagiaan yang hakiki di dunia sana. Bila pandangan hidup dilandasi oleh aspek material yang lebih dominan, maka pertanyaan tentang hari akhir adalah absurd dan tak masuk akal, agama dan segala yang berbau spritual dan idealistik hanyalah akibat dari perubahan materi saja. prinsipnya hidup untuk hidup. Maka yang menggejala dan jadi pujaan masyarakat itu adalah rasionalitas, sekularisme dan positivisme.


Orang Mandar sejak dulu dalam berpandangan hidup selalu didominasi oleh aspek kejiwaan dan percaya pada aspek yang supra natural dan metafisika. Bahkan orang Mandar dimasa pra Islam yang animis begitu percaya bahwa hidup ini hanyalah perantara untuk sampai pada alam yang sesungguhnya dimana terdapat kebahagian yang hakiki. Itulah sebabnya ketika Todilaling, raja Balanipa pertama mangkat, banyak pengikut dan hambanya yang mau turut serta bersamanya bak bertamasya ke alam yang dijanjikan. Karena mereka meyakini betul bahwa ada kehidupan yang lebih indah dan pasti setelah dunia ini. Namun dalam aspek tertentu orang Mandar juga mengidealkan hidup untuk mendapat hal yang bersifat materi sebagai sarana dan bekal untuk akhir nanti seperti lontar mengatakan : Ada empat jalan yang padanya tidak boleh menempatkan sesuatu yang akan menggigit, menanduk dan menendang, jalan menuju ke sungai, jalan menuju ketempat menumbuk padi, jalan menuju ke pasar, dan jalan menuju kekampung. Disini terlihat jelas adanya prinsip pasar bebas dalam arti orang Mandar mengapresiai upaya orang untuk mencari nafkah dan kehidupannya, sehingga dirasa perlu untuk mengatur pelanggaran terhadpnya. ini adalah sebuah nilai.


Bahkan kita dapat juga mengungkap bukti betapa orang Mandar bukan saja memetingkan hal yang material-ekonomis, namun orang Mandar juga memberi nilai lebih pada hal yang bersifat intelektual dan artistik. Ini terbaca dalm sebuah lontar yang berbunyi : Ada empat hal yang menjadi sifa/persyaratan suatu negri, 1. dukun/tabib, 2. guru, 3. cendekiawan, 4. pedagang. Dalam lontar lain dikatakan : Ada empat hal yang memberi pertanda bahwa negeri itu bersemangat dan dinamis. 1. ada orang tua atau orang yang dituakan, 2. bagus hubungan pergaulan dalm rumpun famili, 3. ada tanam-tanaman, 4. ada bunyia-bunyian /kesenian seperti gendang, keke, suling, seniman cilik, dan kicauan burung. Tampak jelaslah behwa orang Mandar sejak jaman lontara sudah memberi tempat yang tinggi pada seorang cendekiawan yang olehnya telah banyak melahirkan para to manarang di tanah Mandar dari dulu sampai kini. Khusus mengenai peran seniman, di Mandar bahkan sedari kecil orang telah didiidik dan dibina untuk menjadi seniman, dengan memasukkannya dalam sekolah tari, musik, dan sastra ala istana Mandar.


Seperti yang telah dikatakan diatas, ada tiga macam pandangan hidup, termasuk renungan pribadi orang perorang, namun sejauh yang penulis pantau, pandangan hidup yang disampaikan oleh tokoh2 dan pemimpin Mandar tetaplah juga dilandasai dan bersumber dari adat, budaya dan lontara orang Mandar awal yang telah begitu menghujam di hati sanubari mereka. Seperti kita tahu ada intisari pandangan hidup yang mulia dari orang Mandar yang kini telah jadi motto Provinsi Sulbar, yakni ' Malaqbi '. Ini pertama kali dicetuskan dan dipopulerkan oleh salah seorang pelopor dan pejuang Sulbar sekaligus seorang penyair berkaliber nasional bahkan internasional dari Mandar, Husni Jamaluddin. Penjelasan dan makna yang lebih jauh dari konsep Malaqbi ini telah disampaikan oleh salah seorang tokoh pejuang, pendidik dan agama di Mandar , Prof. Rahman Halim : Malaqbiq itu setidaknya ada enam kriteria: “buttu tandiraqbai” atau supremasi hukum; “manuq tandipisissiq” atau demokrasi bahwa semua orang bisa memberi pendapat, egaliter, tidak mengenal konsep bahwa pemimpin harus keturunan “tomanurung”; “deaq tandicupaq” atau pemerataan ekonomi, kita orang Mandar bersaudara tidak lagi “sirekengang” (hitung-hitungan, red.); dalam hukum harus ada kepastian atau dikenal dengan istilah “karra-arrang tandirappai”; tidak boleh berpisah “mata malotong anna mata mapute”, itu konsep persatuan; dan “wai tandipolong” atau “batu tanditemaq”, itu konsep ketuhanan. Itu bahasa yang sangat luhur, itulah ke-malaqbiang.”


Dan jelaslah bahwa pandangan hidup orang Mandar yang terangkum dalam ucapan, ungkapan, kalin'dada. lontar, pandangan pribadi tokoh dan pemimpin dsb, adalah pandangan hidup yang seimbang antara aspek lahir dan batinia, spritual dan material, agama dan duniawi. Orang Mandar adalah manusia2 moderat yang demokratis, dan agamis. Tidak ekrim dan tidak juga lunak, serba malaqbi tingkah lakunya seperti malaqbinya penari Pattu'du yang tenang, kalem dan lembut, harmonis dan selaras gerak-gerik tubuh dan batinnya. Selalu lebih mementingkan orang banyak, kemuliaan dan kebesaran masyarakat seperti yang dikatakan peletak dasar hidup demokratis dan berkeadilan di Mandar, Todilaling '' Patondo saliwangi baromu, Patondo tamai barona to mae'di. Salam Malqbi.